Selasa, 24 Juni 2008

Melihat Ke Dalam

(permenungan Terhadap Fenomena kecenderungan Perilaku Moral

dalam Masyarakat saat ini)

“Jagalah Hatimu dengan segala kewaspadaan,

Karena dari situlah terpancar kehidupan”.

-Amsal 4:23-

Gambaran Umum

Kecenderungan dan fenomena yang sering terjadi saat ini telah membuktikan betapa kompleksnya permasalah sosial yang masih melilit hidup masyarakat kita. Semua permasalahan di masyarakat muncul ibarat semburan lumpur panas yang terjadi di Sidoarjo, lumpur yang terus menyembur dan meluluhlantahkan apa yang ada di sekitarnya. Sehingga terjadi kelumpuhan total di semua bidang. Hancurnya tempat tinggal (pemukiman penduduk), hilangnya mata pencaharian, terhambatnya proses pendidikan, bahkah yang paling pelik adalah masyarakat semakin menderita dalam memenuhi kebutuhan hidup; sulitnya mendapatkan makanan, sehingga masyarakat banyak yang menderita kelaparan, gizi yang buruk, hingga akhirnya tidak berdaya dan pasrah dalam menghadapi sakratul maut.

Fenomena ini tentunya tidak hanya terjadi di salah satu daerah saja, melainkan merata di seluruh tanah air. Media televisi sudah sangat jelas sekali meliput semua kasus-kasus yang terjadi di masyarakat, bahkan media surat kabar juga telah memuatnya sebagai hot isues yang terjadi; baik secara lokal maupun nasional. Hal yang menghebohkan sedang terjadi adalah, seperti yang sekarang sedang terjadi pada bangsa kita. Di mana fenomena yang muncul adalah seputar menjadi mahalnya (harga-harga meroket) kebutuhan pokok, bahkan yang lebih parah lagi adalah masyarakat sangat kesulitan untuk mendapatkannya. Sehingga cerita yang sering kita dengar dari ibu-ibu rumah tangga mengenai kesulitan dan menghilangnya si minah (alias minyak tanah) dan bahan sembako lainnya dari dapur masyarakat kita sudah menjadi hal biasa. Semua orang sekarang merasa sangat ketakutan akan kelangkaan bahan pokok tersebut. Akhirnya perilaku dan sikap egois pun muncul dalam diri sekelompok masyarakat untuk berlomba-lomba menimbun semua bahan tersebut agar dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya.

Apakah fenomena ini hanya terjadi di Indonesia atau memang ini adalah gejala yang terjadi di seluruh dunia? Catatan Kompas menunjukkan bahwa fenomena ini juga dinyatakan benar oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO). Bahwa tingginya harga bahan sembako di Indonesia adalah disebabkan oleh naiknya secara drastis harga pangan dunia sejak tahun 2007, dan hal ini terjadi secara merata hampir di seluruh belahan bumi: mulai dari Amerika Utara, Benua Afrika, Asia Tengah dan Tenggara, hingga ke benua Australia. Bahkan menurut FAO kondisi ini telah memicu serangkaian kekacauan sosial dan politik, di negara-negara miskin, terutama di Benua Afrika (Kompas, Rabu, 2April 2008).

Semua ketimpangan ini akhirnya, terakumulasi dalam merebaknya kasus sosial yang terjadi pada masyarakat kita di semua daerah-daerah. Kejadian yang sungguh sangat memprihatinkan dan menyedihkan sekali. Di satu sisi negara kita sebagai penghasil beras (bahkan salah satu lumbung beras di Asia), di sisi lain msyarakat kita juga mengalami penderitaan dan kelaparan. Panen raya terus terjadi tetapi harga beras tetap tinggi, sehingga menyulitkan masyarakat miskin untuk dapat membeli beras.

Ironisnya, Pemerintah yang seharusnya dalam hal ini menjadi pamong praja (pembantu masyarakat) dalam mencari solusi atas semua masalah juga tidak dapat memperlihatkan tanggungjawabnya sebagai pembantu masyarakat. Akan tetapi, justru mereka yang menjadi biang masalah, sebab yang terjadi adalah munculnya sikap-sikap yang tidak mau peduli dan sikap itu berubah menjadi pangreh praja (penguasa masyarakat) layaknya seperti penindas-penindas hak-hak orang miskin. Hal tersebut dapat kita lihat dalam perilaku para pemimpin masyarakat kita yang telah menyelewengkan dan mengambil apa yang seharusnya menjadi hak-hak orang miskin (yang tidak mampu). Mulai dari bantuan dana BOS untuk pendidikan yang tidak jelas, dana subsidi Raskin (beras untuk orang miskin) yang tertangkap basah dikorupsi oleh oknum Pejabat Pemerintah Daerah Banten - Tangerang. Kemudian asuransi jaminan kesehatan untuk orang miskin pun juga diselewengkan dan tidak pernah didapatkan mereka.

Mengapa perilaku yang terjadi ini semakin menyeret masyarakat kita kepada kehidupan yang individualis-sadis? Ada apa dibalik fenomena prilaku masyarakat kita?

Amsal: Jauh melihat Ke Dalam

Dari semua kondisi dan permasalah yang telah kita lihat tentu perlu suatu upaya yang dilakukan dalam perbaikan ke arah yang lebih baik (defiensi positif). Kita sebagai umat yang percaya (gereja) tentunya harus lebih pro aktif untuk dapat peka dan tanggap dalam memahami fenomena ataupun kondisi apa yang sedang dan akan terjadi. Khidmat-Nya telah mengajarkan kita bahwa kita haruslah senantiasa berpegang dan bersandar pada kuasa-Nya (Amsal 3), agar kita semua tetap kokoh berjalan dan tidak tersandung dan akhirnya terjatuh dalam godaan dunia ini. Seperti yang diungkapkan oleh pengarang dalam Amsal 4:23, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, Karena dari situlah terpancar kehidupan”. Apa sebenarnya maksud dan tujuan pengarang menyampaikan hal tersebut? Inilah yang akan kita hayati sebagai permenungan dalam melihat kondisi yang terjadi pada bangsa kita yang sedang sakit ini.

Hal apa yang bisa kita lihat dalam kitab Amsal ini? Tentunya, kita telah mengetahui bahwa kitab Amsal adalah kitab yang banyak sekali memuat; menceritakan dan mengajarkan tentang khidmat. Semua khidmat yang disampaikan telah tertuang dalam bentuk-bentuk praktis yang dijadikan sebagai pedoman hidup bangsa Israel sehari-hari. Dalam sejarahnya dapat juga kita ketahui bahwa pada dasarnya, khidmat adalah suatu kepintaran mencapai hasil, menyusun rencana yang benar untuk memperoleh hasil yang dikendaki. Biasanya tempat kedudukannya ialah hati, sebagai pusat keputusan moral dan intelektual (bnd. 1Raj. 3:9, 12).

Secara umum, maksud dan tujuan pengarang menuliskan kitab Amsal adalah untuk memperlihatkan secara tajam dan kontras antara akibat mencari dan menemukan khidmat dengan akibat mengejar kehidupan yang bodoh.[1]

Oleh karena itulah mengapa Raja-raja dan pemimpin Israel secara khusus sangat membutuhkan khidmat. Sebab, pada mereka lah bergantung keputusan-keputusan yang tepat dalam semua masalah sosial politik. Yosua (Ul. 34:9), Daud (2Sam. 14:20), Salomo (1Raj. 3:9, 12; 4:29) dikaruniai kebijaksanaan untuk memampukan mereka menunaikan tugas-tugas resmi pengabdian mereka. Raja mesianik dalam Yesaya (11:2) akan dilengkapi roh khidmat untuk menghakimi dengan adil. ‘Penasihat ajaib’ (9:5) menandaskan bahwa nasihatnya akan mendampakkan hasil yang menakjubkan.[2]

Dengan demikian, khidmat Alkitabiah adalah sekaligus bersifat agamawi dan praktis, dan berasal dari ‘takut akan Tuhan’ (Ayub 28:28 Mzm. 111:10; Ams. 1:7; 9:10). Khidmat berkembang menyentuh segenap hidup, seperti ditunjukkan dan dijelaskan secara luas dalam Amsal. Khidmat memperoleh pengertian yang dikumpulkan dari pengetahuan tentang jalan-jalan Allah dan menerapkannya dalam hidup sehari-hari.

Hati: Pancaran kasih kehidupan

Jika kita teliti dengan seksama dalam Amsal tersebut, mengapa pengarang sangat menekankan untuk menjaga ‘hati’? Ada apa, dan mengapa hati yang harus dijaga dalam segala kewaspadaan? Tentunya, dalam sejarah khidmat Ibrani dapat kita lihat bahwa jika orang berpikir tentang hati, berarti adalah berbicara tentang keseluruhan manusia dengan segala sifatnya, jasmani, intelek dan juga jiwanya sebagai satu-kesatuan; mereka tidak menganalisisnya dalam komponen terpisah. Bahkan dalam artian ini, hati nurani juga mengandung makna yang lebih dalam dari pada hanya ‘kesadaran’, bahkan hati nurani juga dianggap mencakup sebagai alat penghakiman (dalam Alkitab penghakiman moral) atas suatu perbuatan yang dilakukan dengan sadar.

Dari pemahaman ini tentunya kita dapat mengerti apa maksud pengarang Amsal tersebut, mengapa hati sebagai sumber dari segala keinginan itu harus tetap dijaga dalam segala kewapadaan (Amsal 4:23)? Benar, tujuannya, adalah supaya hati yang menjadi sumber dalam kehidupan manusia itu tidak menjadi menyimpang dan dapat membuat manusia tersandung. Sehingga, dengan tegas Amsal ini juga mengingatkan supaya setiap guru ataupun orang tua haruslah mengajarkan khidmat (didikan) kepada murid atau anaknya untuk bertujuan mengantarkan hati murid-murid atau anak tersebut pada jalan kebenaran (ayat 20-21).

Dengan demikian, dari kebenaran hati yang teguh dalam khidmat yang penuh kewaspdaan akan dapat memancarkan kehidupan. Sehingga, hal ini juga yang ditegaskan oleh Tuhan Yesus dalam khotbahnya di bukit: “Berbahagialah mereka yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” (Mat. 5:8). Artinya, syarat mutlak yang harus dilakukan dan dimiliki oleh manusia hanyalah menjaga hati supaya tetap suci! Oleh karena itu, Tuhan mengetahui dan mengenal hati setiap orang, dan tidak bisa ditipu oleh penampilan luar (1Sam. 16:7). Justru, sikap dan tindakan benar yang harus kita lakukan dalam memohon kepada Allah adalah untuk meminta Allah menyelidiki dan mengenal hati kita (Maz. 139:23), serta menjadikannya bersih. Oleh karena itu, hati yang baru haruslah menjadi tujuan dari setiap orang durhaka (Yeh. 18:31), sehingga hukum Allah tidak lagi menjadi sesuatu yang berada di luar, melainkan ditulis di dalam hati (Yer. 31:33)

Demikianlah orang yang menjaga sehingga suci hatinya. Dengan demikian, orang yang suci hatinya akan dapat melihat Allah. Karena, dengan iman Kristus yang tinggal di dalam hati, maka orang Kristen pun akan dapat memahami kasih Allah.

Refleksi dalam kondisi kegelapan hati di masyarakat

Hati yang suci; bersih dan terjaga dalam segala kewaspadaan akan memancarkan kehidupan. Hal itu akan sangat jelas terlihat dalam semua pikiran, perilaku/tindakan dan sikap hidup sehari-hari. Sehingga, penyebab dari gambaran umum dan fenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat kita saat ini dapat dengan mudah kita mengerti, adalah sebagai akibat dari perilaku yang buruk. Perilaku yang buruk tersebut adalah cerminan dari hati yang tidak terjaga dalam segala kewaspadaan. Hati yang menyimpang dan terjatuh sehingga masuk ke dalam kubangan permasalahan hidup yang akhirnya menenggelamkan manusia dalam lumpur kebodohan hidup; defiensi negatif, menuju pada tindakan kejahatan dan kehancuran moral.

Dengan demikian, kita tidak perlu heran tentang apa yang menyebabkan terjadinya korupsi besar-besaran di negara kita. Korupsi yang sangat memalukan yang terjadi di semua lini, terkhusus pada semua aparatur negara kita sendiri. Terbongkarnya sebagian dari sindikat mafia di dunia peradilan dan Komisi Yudisial kita yang tertangkap karena menerima suap adalah bukti matinya suara hati dan hancurnya moralitas masyarakat kita. Belum lagi perilaku dari beberapa oknum Pejabat Pemda Banten yang juga kedapatan menyelewengkan dana subsidi beras bagi orang miskin. Kemudian, dana BOS yang juga tida jelas kemana penggunaannya. Semakin jelaslah, semua perilaku masyarakat kita ini sungguh sangat memperihatinkan sekali.

Tekanan untuk bertahan hidup dalam memenuhi semua kebutuhan akhirnya membuat manusia buta mata dan buta hati. Apa pun akan dilakukan demi mendapatkan apa yang diinginkan oleh hatinya. Akhirnya kebutaan mata hati itu lah yang akhirnya menyebabkan manusia tidak lagi ada bedanya, bahkan lebih parah dibandingkan dengan binatang. Sebab, hidup manusia sekarang ini sudah tidak ada harganya lagi.

Lantas, apa yang bisa kita lakukan untuk keluar dari kondisi kegelapan ini? Setidaknya, ada sikap atau tindakan konkret yang bisa dilakukan oleh gereja sebagai garam dan terang-Nya untuk dunia yang sedang hambar dan gelap ini? Jawabnya hanyalah, “kita (gereja) harus kembali menjaga hati kita dengan segala kewaspadaan”. Supaya kita tidak lagi menambah, atau memperparah kelamnya dunia masyarakat kita saat ini. Sebab, dengan upaya dan sikap menjaga hati, akan terlihat defiensi positif yang terjadi dalam sosial masyarakat kita. Dalam artian, sikap proaktif yang konstruksif yang harus dilakukan oleh gereja adalah dengan melakukan penyadaran panggilan kepada seluruh umat percaya. Sehingga, dengan adanya kesadaran panggilan umat dalam segala bidang di masyarakat, maka kesadaran itu akan menghasilkan pemahaman profesional yang kita jalani masing-masing, apakah sebagai tenaga medis, pendidik, ekonom, lawyer, pengusaha, dll. Pemahaman profesional dalam kesadaran iman tersebut juga akan melahirkan tindakan atau perbuatan kita yang benar dan positif serta bertanggung jawab. Dengan demikian, dampak yang terjadi tersebut juga akan berubah pada defiensi yang positif, yang dapat kita rasakan pada dua sisi.

Pertama, perubahan ke dalam. Dalam artian, perubahan ini akan dapat menjadi trigger (pemicu) untuk semakin memampukan kita dalam segala kewaspadaan menghadapi setiap permasalahn di masyarakat. Sehingga, permenungan sikap menjaga hati yang bersumber dari hikmat-Nya dengan pemahaman takut akan Tuhan akan menjadi vaksin yang menguatkan kita dalam menghadapi pesakitan yang terjadi di masyarakat ini.

Kedua, perubahan ke luar. Dalam artian ini adalah, bahwa dengan sikap sikap defiensi positif yang kita lakukan secara tidak langsung akan memberikan dampak terhadap dunia sekitar kita. Baik di tempat kerja, di lingkungan masyarakat, maupun di daerah-daerah yang menjadi konsentrasi perhatian kita; apakah keluarga miskin, kelompok masyarakat yang membutuhkan sentuhan pelayanan kasih, dll.

Dengan demikian, sikap yang kita bangun dalam menjaga hati dengan segala kewaspadaan benar-benar dapat memancarkan kehidupan di dalam diri dan bagi sesama kita. Sehingga dengan sikap yang selalu merendah dan tulus dalam khidmat-Nya akan dapat menuntun kita kepada kualitas sikap maupun perbuatan hidup sehari-hari. Salam

Medan, 4 April 2008

Penulis adalah Sekretaris Young People For Development (YPD) Wilayah Medan



[1] Kebodohan yang dimaksud bukanlah ketidaktahuan, tetapi sikap meremehkan prinsip-prinsip moral dan kesalehan secara sengaja. Kemerosotan moral, hilangnya tanggung jawab rohani dan ketidak pekaan sosial. Lih. W.S Lassor, dkk., Pengantar Perjanjian Lama2, Jakarta: BPK-GM, 2000, hlm. 89-91

[2] Suatu kelas khusus orang bijaksana (laki-laki dan perempuan, bnd. 2Sam 14:2) nampaknya berkembang selama pemerintahan monarki. Pada masa Yeremia, mereka mempunyai peranan penting disamping nabi-nabi dan para imam, sebagai yang berpengaruh besar atas masalah agama dan sosial. Tugas mereka adalah merumuskan rencana-rencana yang dapat dilaksanakan, menyusun nasihat untuk meraih hidup yang berhasil (Yer. 18:18). Orang bijaksanan atau penasihat berperan sebagai “Bapak” dalam hubungannya dengan orang-orang yang kesejahteraan mereka bergantung pada nasihatnya. Misalnya, Yusuf menjadi “Bapak” bagi Firaun (Kej. 45:8); Debora menjadi “Ibu” di Israel (Hak. 5:7. )Lih. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini: Jilid A-L, Jakarta: YKBK/OMF, 1994, hlm. 391



di posting oleh :
nuel_gbkp@yahoo.co.id
tgl 24 Juni 2008

Tidak ada komentar: