Rabu, 09 Juli 2008

Masyarakat yang “Ber-Tuhan” dalam Negara “Pancasila”
Oleh: Edy Saputra Simamora, STh

Pendahuluan
Siapakah warga Negara Indonesia yang sebenarnya diakui di bangsa ini? Siapakah sebenarnya yang berhak menentukan dan menyatakan seseorang itu adalah warga Negara Indonesia yang berhak dan pantas hidup atau tidak, dan menyatakan diri maupun komunitasnya di negara ini? Tentunya pertanyaan inilah yang muncul dan mungkin akan terus muncul di dalam setiap individu manusia Indonesia saat ini, yang berada dan mengakui kedaulatan NKRI sebagai Negara yang memiliki keberagaman suku, ras dan agama, yang sangat plural tetapi pada kenyataannya merasakan dan melihat kedaulatan Negara ini menjadi Negara yang paradoks.
Sesungguhnya pengakuan yang mulia itu sudahlah mendarah daging dalam segenap jiwa-raga bangsa Indonesia dan telah dituangkan dalam semboyan yang sangat luhur dalam patron bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika (beragam: suku, agama, dan ras tetapi adalah satu!). Tentunya Ika yang dipahami sebagai core belief disini adalah, adanya pengakuan yang rasional dan bahkan sampai ke dalam denyut jantung keyakinan ber-Tuhan akan kebersamaan dan berbagai keberagaman yang sangat kaya dimiliki oleh bangsa ini.
Akan tetapi, pada kenyataannya belakangan ini, kita sudah sangat sulit sekali dan bahkan menjadi terancam jika kita berbicara tentang pancasila sebagai rumusan resmi konsensus dasar bangsa Indonesia dan juga dengan demikian menjadi kunci pemelihara persatuan dan kesatuan bangsa yang positif. Sungguh mengharukan sekali bukan? Berbicara tentang kekayaan dan harta karun bangsa di rumah sendiri juga sudah tidak lagi menjadi sebuah jaminan. Rasanya kita semakin terasing dan menjadi seperti warga yang hanya menumpang maupun pendatang yang bisa diperlakukan semena-mena oleh sekelompok orang atau sebuah komunitas yang menyatakan lebih berhak sebagai penentu masyarakat yang bertuhan di Negara pancasila ini.

Keadilan yang inklusif
Pada abad ke-20 yang lalu seorang filosof Amerika John Rawls (1992) mengemukakan sebuah antitese atas perubahan yang telah terjadi dari sebuah pergeseran tatanan masyarakat yang baru dalam sejarah. Di mana, pada masa itu munculnya gerakan-gerakan keras ideologis yang mau menghapus bersih tatanan tradisional masyarakat, untuk di atas reruntuhannya membangun suatu tatanan yang baru total, murni atas dasar ideologi mereka masing-masing. Apakah ideologi-ideologi itu bernada fasis, komunis atau keagamaan tidak mengubah prinsip yang mereka pakai: masyarakat harus ditata baru dari dasar-dasarnya karena kamilah yang memiliki ajaran benar tentang masyarakat. Tidak ada kompromi antara kebenaran dan kepalsuan, tatanan baru itu seperlunya harus dipaksakan atas mereka yang tidak mau.
Bahkan elite-elite keras ideologis yang ada dipelbagai pelosok dunia tanpa memperhitungkan korban membangun Negara dan masyarakat kembali menurut keyakinan-keyakinan mereka, bahwa mereka dipanggil untuk menciptakan sebuah tatanan “masyarakat sempurna”. Itulah yang merupakan salah satu pandangan yang paling mengerikan di abad ke-20.
Antitese yang diungkapkan oleh Rawls atas fenomena tersebut adalah dalam pandangan yang ia kemukakan dalam political Liberalism, dimana Rawls tetap mempertahankan bahwa masyarakat pluralistik hanya dapat hidup bersama dengan baik apabila berdasarkan faham keadilan yang dapat diterima oleh semua pihak. Rawls juga membedakan antara dua pluralisme: antara “reasonable pluralism” dan “unreasonable pluralism”. Reasonable yang dimaksud bukanlah dalam arti “rasional”, melainkan dari kata “to reason about”, sebagai bersedia berargumentasi dan berkompromi saja. Tentu saja, tentang keyakinan moral inti dan keagamaan sebuah komunitas tidak bersedia untuk tawar-menawar. Akan tetapi, tentang kerangka hidup bersama dengan komunitas lain mereka bersedia “to reason”, untuk mempertimbangkan pelbagai sudut yang ada, sehingga tidak memutlakkan cita-cita mereka sendiri. Artinya mereka juga mampu bertoleransi dan berkompromi terhadap yang diluar mereka.
Lain halnya dengan kelompok-kelompok dengan keyakinan-keyakinan unreasonable, entah karena mereka berdasarkan sebuah ideologi atau paham keagamaan yang keras (tidak jauh beda dengan umat yang tegar-tengkuk). Yang menjadi masalah dari kelompok itu adalah bahwa sebenarnya mereka dapat saja hidup menurut keyakinan mereka sendiri, akan tetapi mereka tidak puas dengan itu. Mereka mau agar semua hidup menurut tatanan yang mereka yakini sebagai satu-satunya yang benar. Mereka mempunyai pandangan yang comprehensive sekaligus eksklusif, dan karena itu mereka tidak dapat mengadakan kompromi dalam bertoleransi, dan tidak dapat menerima pluralitas. Dalam artian ini, jika pihak kelompok atau komunitas unreasonable semakin besar dalam masyarakat, maka semakin sulit jugalah membangun kehidupan bersama yang dapat diterima oleh semua sebagai sesuatu yang adil (Frans Magnis Suseno: 2006).

Pancasila sebagai payung masyarakat yang ber-Tuhan
Beranjak dari kondisi dan permasalahan yang telah terjadi dalam gerakan ber-tuhan dalam bingkai Negara pancasila belakangan ini, maka kita harus dapat sesegera mungkin untuk melakukan ansipasi dan pencegahan terhadap kelompok-kelompok unreasonable yang pada sekarang ini jelas-jelas meyakini dan menghidupi paham yang sangat eksklusif dan destruktif tersebut. Pemerintah dan segenap lapisan masyarakat harus benar-benar menyadari hal ini menjadi sebuah tanggung-jawab bersama, dan juga bersama-sama dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi.
Tentunya, jika kita hidup dalam bingkai kesatuan Negara Indonesia yang memang mengakui pancasila sebagai ideologi bangsa, maka tidak akan ada pemaksaan kehendak dan penganiayaan terhadap pengklaiman atas suatu ajaran maupun keyakinan yang diyakini oleh seorang individu atau kelompok. Hal ini harus dengan tegas dinyatakan dan ditegakkan oleh Negara ini. Jika tidak, maka fenomena ini akan menjadi sebuah gerakan naïf yang akan mencoreng dan bahkan meniadakan kedaulatan bangsa Indonesia. Artinya, keabsolutan dan wewenang pemerintah sebagai aparatur Negara dalam memimpin dan membawa bangsa ini kepada perwujudan cita-cita luhurnya tidak lah lagi ada.
Negara ini tidak perlu memelihara dan mengakui keberadaan orang-orang atau kelompok yang hanya selalu mencoba melakukan pemaksaan atas kehendak dan kepentingannya dalam mendirikan tatanan baru yang eksklusif. Tidak perlu lagi ada kesangsian dalam tindakan tegas terhadap perbuatan-perbuatan yang sudah jelas-jelas telah merongrong dan mencoba menghancurkan pancasila sebagai payung bangsa ini. Sebab, jika hal ini tidak segera disikapi oleh pemerintah dan juga bersama-sama dengan masyarakat, maka kita bisa membayangkan bagaimana wajah dan kedaulatan bangsa Indonesia ini ke depan. Perpecahan dalam konflik, perang saudara dan perang se-agama atas nama “Tuhan” pun akan terjadi. Yang ada hanyalah tangis dan jeritan-jeritan doa orang-orang yang tidak berdosa atas semua tindakan dan sikap-sikap anarkis yang lebih pantas disebut kaum barbar yang menyeramkan dari pada masyarakat yang “ber-Tuhan.”
Marilah kita hidup dalam pemahaman dan keyakinan yang arif dalam beragama kontekstual di Negara Indonesia yang kita hargai ini. Mari kita yakini pemahaman bahwa kita hidup dalam kesatuan yang beragam suku, ras, agama maupun golongan. Hal terkecil yang dapat kita lakukan adalah dengan menghargai dan mengakui pancasila sebagai gambaran pluralitas sosial masyarakat kita.

Penulis adalah mahasiswa
Program Magister Pasca Sarjana Sains Psikologi
Univ. Kristen Satya Wacana - Salatiga

Di Posting Oleh :
Imanuel Gintings
(Mhsw Teologi UKSW / Gr KAKR GBKP Tg Priok)

Tidak ada komentar: