Jumat, 25 Juli 2008

SURAT CINTA

“Karena telah nyata, bahwa kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada loh – loh batu, melainkan pada loh – loh daging, yaitu di dalam hati manusia.” (2 Korintus 3 : 3)
Bacaan : 2 Korintus 3 : 1 – 18

Setiap orang pasti sangat senang menerima surat cinta. Khususnya seperti kita saat ini anak – anak muda yang dipenuhi oleh warna – warni kisah cinta. Surat cinta bukanlah surat biasa. Surat ini dapat memancarkan kebahagian bagi pembaca maupun pengirimnya. Orang yang mendapatkan surat cinta sering mengulang – ulang untuk membacanya. Dan bahkan kita cenderug untuk menceritakan isinya kepada orang – orang. tapi saat ini kita bukan membahas mengenai surat cinta tapi siapakah surat cinta itu?
Bunda Teresa pernah berkata, “We are all pencils in the hand of a writing God who is sending love letters to the world.” Allah menulis karya dan cinta kasih – Nya pada hati kita oleh Roh Allah yang hidup. Kita adalah surat cinta Kristus yang dikirim untuk dunia.
Pada saat kita lahir, Allah mengirim kita kepada dunia. Di dunia ini, hidup orang – orang dengan bermacam sifat, karakter dan temperamen yang kita jumpai dalam keluarga, lingkungan, Gereja, tempat kita kerja, tempat sekolah dan berkuliah. Kita adalah surat cinta Kristus yang dikirim untuk dunia agar dunia membaca dan melihat isi kehidupan kita.
Ketika Allah menulisnya, yang ditulis adalah hal – hal yang hidup, menghibur, menguatkan, mendukung, menegur dan membangun. Namun, apakah kehidupan kita telah menyampaikan isi surat cinta yang telah dituliskan Allah dalam diri kita kepada dunia? Kalau kehidupan kita masih kurang atau bahkan belum mencerminkan isi surat cinta Allah kepada dunia, inilah saatnya untuk mengambil sikap. Kita harus memohon kepada Sang Penulis agar menuliskan cinta kasih, kesetiaan, serta hikmat – Nya di dalam hidup kita. Selanjutnya kita dapat memancarkan surat cinta Kristus di hati kita itu kepada dunia.
Nah... kita pasti bangga dipercayakan menjadi surat cinta Allah. Jadi jangan sia – siakan kepercayaan yang diberikan Allah pada kita. Harapan Allah, cinta kasih – Nya sampai kepada dunia. Kiranya, ketika kita sampai di dunia kita menjadii bahan bacaan yang enak dibaca, menyenangkan, menghibur, dan menguatkan. Menjadi surat yang membahagiakan dunia melalui semua yang telah, sedang dan akan kita lakukan. Selamat menjadi surat cinta, bersaksi? Siapa takut? Permata Cayo!!!


Waktu yang terus berlalu, selalu menawarkan kesempatan emas untuk kita berkarya bagi sesama demi memuliakan nama – Nya.

Imanuel Ginting

(Mhsw Teologi UKSW/gr KAKR GBP Tg Priok)

Rabu, 09 Juli 2008

Selamat dan Sukses

Atas di Wisudanya dan mendapat Gelar “Sarjana Hukum” dengan hasil yang Memuaskan, Saudara kami yang Terkasih :

Charles Hadi M Sebayang SH

Pada Hari Sabtu 5 Juli 2008 Di Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga, Jawa Tengah


Ia akan seperti pohon yang ditanam ditepi air, yang merambatkan akar-akarnya ketepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah.(Yer 17:8)


Kiranya Ilmu yang Kam peroleh Hanya Untuk Kemuliaan Tuhan Yesus Kristus dan Jadilah Penyuara Kebenaran di Tengah Bangsa dan Gereja GBKP ini,

Kami yang mengasihimu:

Pdt. Masada Sinukaban/ Baktiani Sri Melvina Br. Ginting Salatiga
Pdt. Paskaria Imanuel Perangin-angin/ Nora Yogyakarta
Irwan Sembiring M.Com/ Dr. Maria Erika Pranasakti Salatiga
Hendra Sembiring Salatiga
Imanuel Gintings Tg Priok/Salatiga
Permata GBKP Rg. Semarang sektor Salatiga Salatiga
Kesaktian Peduli Generasi Indonesia Salatiga
Mayim Meriba Salatiga




Tuhan Yesus Memberkati AMEN
Masyarakat yang “Ber-Tuhan” dalam Negara “Pancasila”
Oleh: Edy Saputra Simamora, STh

Pendahuluan
Siapakah warga Negara Indonesia yang sebenarnya diakui di bangsa ini? Siapakah sebenarnya yang berhak menentukan dan menyatakan seseorang itu adalah warga Negara Indonesia yang berhak dan pantas hidup atau tidak, dan menyatakan diri maupun komunitasnya di negara ini? Tentunya pertanyaan inilah yang muncul dan mungkin akan terus muncul di dalam setiap individu manusia Indonesia saat ini, yang berada dan mengakui kedaulatan NKRI sebagai Negara yang memiliki keberagaman suku, ras dan agama, yang sangat plural tetapi pada kenyataannya merasakan dan melihat kedaulatan Negara ini menjadi Negara yang paradoks.
Sesungguhnya pengakuan yang mulia itu sudahlah mendarah daging dalam segenap jiwa-raga bangsa Indonesia dan telah dituangkan dalam semboyan yang sangat luhur dalam patron bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika (beragam: suku, agama, dan ras tetapi adalah satu!). Tentunya Ika yang dipahami sebagai core belief disini adalah, adanya pengakuan yang rasional dan bahkan sampai ke dalam denyut jantung keyakinan ber-Tuhan akan kebersamaan dan berbagai keberagaman yang sangat kaya dimiliki oleh bangsa ini.
Akan tetapi, pada kenyataannya belakangan ini, kita sudah sangat sulit sekali dan bahkan menjadi terancam jika kita berbicara tentang pancasila sebagai rumusan resmi konsensus dasar bangsa Indonesia dan juga dengan demikian menjadi kunci pemelihara persatuan dan kesatuan bangsa yang positif. Sungguh mengharukan sekali bukan? Berbicara tentang kekayaan dan harta karun bangsa di rumah sendiri juga sudah tidak lagi menjadi sebuah jaminan. Rasanya kita semakin terasing dan menjadi seperti warga yang hanya menumpang maupun pendatang yang bisa diperlakukan semena-mena oleh sekelompok orang atau sebuah komunitas yang menyatakan lebih berhak sebagai penentu masyarakat yang bertuhan di Negara pancasila ini.

Keadilan yang inklusif
Pada abad ke-20 yang lalu seorang filosof Amerika John Rawls (1992) mengemukakan sebuah antitese atas perubahan yang telah terjadi dari sebuah pergeseran tatanan masyarakat yang baru dalam sejarah. Di mana, pada masa itu munculnya gerakan-gerakan keras ideologis yang mau menghapus bersih tatanan tradisional masyarakat, untuk di atas reruntuhannya membangun suatu tatanan yang baru total, murni atas dasar ideologi mereka masing-masing. Apakah ideologi-ideologi itu bernada fasis, komunis atau keagamaan tidak mengubah prinsip yang mereka pakai: masyarakat harus ditata baru dari dasar-dasarnya karena kamilah yang memiliki ajaran benar tentang masyarakat. Tidak ada kompromi antara kebenaran dan kepalsuan, tatanan baru itu seperlunya harus dipaksakan atas mereka yang tidak mau.
Bahkan elite-elite keras ideologis yang ada dipelbagai pelosok dunia tanpa memperhitungkan korban membangun Negara dan masyarakat kembali menurut keyakinan-keyakinan mereka, bahwa mereka dipanggil untuk menciptakan sebuah tatanan “masyarakat sempurna”. Itulah yang merupakan salah satu pandangan yang paling mengerikan di abad ke-20.
Antitese yang diungkapkan oleh Rawls atas fenomena tersebut adalah dalam pandangan yang ia kemukakan dalam political Liberalism, dimana Rawls tetap mempertahankan bahwa masyarakat pluralistik hanya dapat hidup bersama dengan baik apabila berdasarkan faham keadilan yang dapat diterima oleh semua pihak. Rawls juga membedakan antara dua pluralisme: antara “reasonable pluralism” dan “unreasonable pluralism”. Reasonable yang dimaksud bukanlah dalam arti “rasional”, melainkan dari kata “to reason about”, sebagai bersedia berargumentasi dan berkompromi saja. Tentu saja, tentang keyakinan moral inti dan keagamaan sebuah komunitas tidak bersedia untuk tawar-menawar. Akan tetapi, tentang kerangka hidup bersama dengan komunitas lain mereka bersedia “to reason”, untuk mempertimbangkan pelbagai sudut yang ada, sehingga tidak memutlakkan cita-cita mereka sendiri. Artinya mereka juga mampu bertoleransi dan berkompromi terhadap yang diluar mereka.
Lain halnya dengan kelompok-kelompok dengan keyakinan-keyakinan unreasonable, entah karena mereka berdasarkan sebuah ideologi atau paham keagamaan yang keras (tidak jauh beda dengan umat yang tegar-tengkuk). Yang menjadi masalah dari kelompok itu adalah bahwa sebenarnya mereka dapat saja hidup menurut keyakinan mereka sendiri, akan tetapi mereka tidak puas dengan itu. Mereka mau agar semua hidup menurut tatanan yang mereka yakini sebagai satu-satunya yang benar. Mereka mempunyai pandangan yang comprehensive sekaligus eksklusif, dan karena itu mereka tidak dapat mengadakan kompromi dalam bertoleransi, dan tidak dapat menerima pluralitas. Dalam artian ini, jika pihak kelompok atau komunitas unreasonable semakin besar dalam masyarakat, maka semakin sulit jugalah membangun kehidupan bersama yang dapat diterima oleh semua sebagai sesuatu yang adil (Frans Magnis Suseno: 2006).

Pancasila sebagai payung masyarakat yang ber-Tuhan
Beranjak dari kondisi dan permasalahan yang telah terjadi dalam gerakan ber-tuhan dalam bingkai Negara pancasila belakangan ini, maka kita harus dapat sesegera mungkin untuk melakukan ansipasi dan pencegahan terhadap kelompok-kelompok unreasonable yang pada sekarang ini jelas-jelas meyakini dan menghidupi paham yang sangat eksklusif dan destruktif tersebut. Pemerintah dan segenap lapisan masyarakat harus benar-benar menyadari hal ini menjadi sebuah tanggung-jawab bersama, dan juga bersama-sama dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi.
Tentunya, jika kita hidup dalam bingkai kesatuan Negara Indonesia yang memang mengakui pancasila sebagai ideologi bangsa, maka tidak akan ada pemaksaan kehendak dan penganiayaan terhadap pengklaiman atas suatu ajaran maupun keyakinan yang diyakini oleh seorang individu atau kelompok. Hal ini harus dengan tegas dinyatakan dan ditegakkan oleh Negara ini. Jika tidak, maka fenomena ini akan menjadi sebuah gerakan naïf yang akan mencoreng dan bahkan meniadakan kedaulatan bangsa Indonesia. Artinya, keabsolutan dan wewenang pemerintah sebagai aparatur Negara dalam memimpin dan membawa bangsa ini kepada perwujudan cita-cita luhurnya tidak lah lagi ada.
Negara ini tidak perlu memelihara dan mengakui keberadaan orang-orang atau kelompok yang hanya selalu mencoba melakukan pemaksaan atas kehendak dan kepentingannya dalam mendirikan tatanan baru yang eksklusif. Tidak perlu lagi ada kesangsian dalam tindakan tegas terhadap perbuatan-perbuatan yang sudah jelas-jelas telah merongrong dan mencoba menghancurkan pancasila sebagai payung bangsa ini. Sebab, jika hal ini tidak segera disikapi oleh pemerintah dan juga bersama-sama dengan masyarakat, maka kita bisa membayangkan bagaimana wajah dan kedaulatan bangsa Indonesia ini ke depan. Perpecahan dalam konflik, perang saudara dan perang se-agama atas nama “Tuhan” pun akan terjadi. Yang ada hanyalah tangis dan jeritan-jeritan doa orang-orang yang tidak berdosa atas semua tindakan dan sikap-sikap anarkis yang lebih pantas disebut kaum barbar yang menyeramkan dari pada masyarakat yang “ber-Tuhan.”
Marilah kita hidup dalam pemahaman dan keyakinan yang arif dalam beragama kontekstual di Negara Indonesia yang kita hargai ini. Mari kita yakini pemahaman bahwa kita hidup dalam kesatuan yang beragam suku, ras, agama maupun golongan. Hal terkecil yang dapat kita lakukan adalah dengan menghargai dan mengakui pancasila sebagai gambaran pluralitas sosial masyarakat kita.

Penulis adalah mahasiswa
Program Magister Pasca Sarjana Sains Psikologi
Univ. Kristen Satya Wacana - Salatiga

Di Posting Oleh :
Imanuel Gintings
(Mhsw Teologi UKSW / Gr KAKR GBKP Tg Priok)
Kisah Orang Kaya dan Lasarus, siapakah Lasarus-lasarus
saat ini??
(Injil Lukas 16 :19-31 menyajikan kepada kita bagaimana contoh 2 karakter yang sangat berbeda, antara Orang Kaya dan Lasarus yang miskin, Penulis mencoba untuk Merefleksikannya dalam situasi dan keberadaan Gereja GBKP saat ini)
Pernahkah anda membaca kisah Orang Kaya dan Lasarus di Injil Lukas? Penulis yakin dan percaya bahwa semua Pembaca setia mj Maranatha pernah membaca atau mendengar kisah ini. Dan penulis juga sangat yakin bahwa hampir semua orang Kristen di Planet Bumi ini pernah membaca atau mendengar kisah Orang Kaya dan Lasarus ini. Disamping menarik dan memang kisah ini sangat mewakili keberadaan kehidupan manusia sepanjang waktu. Dua keadaan yang sangat jauh berbeda atau saling bertolak belakang, dimana seorang keberadaannya sangat kaya-raya dan yang seorang lagi sebaliknya sangat miskin sekali. Yang seorang bergaya hidup mewah dan sangat tidak peduli orang lain di sekelilingnya dan yang seorang lagi Lasarus miskin, menderita, sakit, tidak memiliki apa-apa dan sedang kelaparan. Untuk makan sehari-harinya saja dia bergumul untuk mendapatkannya alias tidak punya! Kontras sekali perbedaan ini. Seperti perbedaan warna hitam dan putih, tinggi dan pendek, atau juga dingin dan panas.
Kisah Lasarus ini mengingatkan penulis kepada Kotbah Pdt Prof Mesach Krisetya pada acara peresmian kantor rumah sakit Holistik di Salatiga Februari 2008 lalu. Dalam kotbahnya beliau menyampaikan bagaimana proses seorang Albert Schweitzer dari Jerman tahun 1956 lalu mendapat hadiah Nobel Perdamaian. Beliau menyampaikan kepada kami bahwa Albert Schweitzer pada suatu masa membaca kisah Orang Kaya dan Lasarus ini dalam Injil Lukas 16 : 19-31, beliau tersentuh. Albert Schweitzer selalu memikirkan dan merenungkan apa yang telah di bacanya dari Injil Lukas tersebut. Benar juga ya pikirnya, banyak Orang-orang Kaya di Eropah ini yang kurang peduli Lasarus-lasarus di Negara atau benua yang lain. Yang mana Eropah sangat Kaya Raya sedang kan banyak negara seperti Afrika dan Etopia sangat Miskin. Maka Albert bangkit dan langsung berpikir bahwa Orang Kaya itu adalah Negara Eropah dan Lasarus itu adalah Afrika. Lalu dengan tidak berlama-lama lagi dia langsung berangkat ke benua hitam itu untuk melayani dan mengabdi di Benua Afrika dengan membangun sebuah Rumah Sakit untuk membantu, menolong dan mengobati serta melayani orang-orang Afrika yang banyak menderita penyakit karena kurang gizi atau miskin. Albert terpanggil untuk melayani Afrika yang dianggapnya sebagai Lasarus yang Miskin.
Puluhan tahun melayani di Afrika tersebut membuat dia akhirnya mendapat penghargaan “Nobel Perdamaian” karena telah melakukan sebuah misi perdamaian dengan kepedulian terhadap kemanusiaan. Di Dunia yang kita hidupi saat ini sangat memerlukan orang-orang seperti Albert Schweitzer. Karena Dunia kita ini sudah seperti padang gurun yang tandus membutuhkan air untuk memberikan kesegaran atau denyut kehidupan!! Dunia memang sedang menantikan “Albert-albert” lain yang bisa memberikan sebuah solusi bagi permasalahan yang tengah dirasakan oleh manusia seperti Lasarus. Kalau kita mau jujur, banyak diantara kita (Jemaat GBKP) yang mampu secara ekonomi dan memiliki berkat yang berkelimpahan telah di berikan (rejeki yang di titip) oleh Tuhan Yesus untuk disalurkan atau di bagikan bagi Lasarus-Lasarus diluar sana!! Anda dan penulis tinggal memilih! Mau mengikut Orang Kaya itu untuk tidak peduli, bermewah-mewah dan berpesta-pesta saja atau mau mengikuti perintah Tuhan Yesus untuk mau Peduli dan mengasihi Lasarus-Lasarus di Sekeliling kita. Dengan kita Peduli dan berbagi, berarti kita telah melakukan Firman Tuhan Yesus di dalam Injil Matius 25 : 40 dan Injil Matius 22 ayat 37-40.
Kalau kita sudah peduli dan melakukan seperti apa yang diajarkan oleh Injil maka kita telah melakukan apa yang diperintahkan oleh Bapa di Sorga dengan demikian maka ada banyak orang yang kita bantu atau tolong seperti yang dilakukan oleh Albert di Afrika tadi. Ayo kita segera melakukannya, Gereja-Gereja di Kota-kota besar seperti Medan, Pk Baru, Jakarta atau Bandung sudah harus melakukan sebuah terobosan kepedulian seperti Albert tadi. Minimal kita melakukan sesuatu yang berarti di kampung halaman kita. Seperti membuat sebuah gerakan “Pesikap Kuta Kemulihenta” misalnya membantu membuat irigasi-irigasi, jalan-jalan, sekolah-sekolah dan memberikan sumbangan alat-alat tulis bagi “anak-anak sekolahta” di kampung kita masing-masing. Itu adalah sumbangan yang sangat berarti bagi mereka di di Tanah Karo. Seperti Albert yang membangun Rumah sakit buat orang Afrika yang miskin.
Gereja GBKP dikota-kota besar dan Klasis-klasis yang di kota juga bisa melakukan hal yang sama, baik secara Pribadi-pribadi atau Keluarga-keluarga yang sudah “Sukses” di berkati Tuhan Yesus. Mari kita meneladani Albert dan melakukan seperti apa yang telah dilakukannya buat Afrika. Coba kita bayangkan betapa mulianya sifat dan perbuatan Albert itu, dari kota Jerman dia pergi ke pedalaman Afrika. Albert sebenarnya sangat pintar sekali (kalau mau cari pekerjaan dimana saja dia mampu, tapi dia tidak mau), dia memiliki 4 gelar Doktor, satu gelar DR Teologi, DR Musik, DR Medis dan DR Filsafat. Luar biasa ya, dia tidak memikirkan lagi jabatan atau hal duniawi seperti kekayaan dan kedudukan. Karena dia berpikir bahwa semua yang dia miliki adalah dari Tuhan. Albert benar-benar melayani dan mengabdi untuk kemulian Tuhan Yesus. Dia begitu tulus dan sungguh dalam melayani Tuhan. Coba kita renungkan dari kota yang sangat besar seperti Jerman ke kota kecil di Afrika. Luarbiasa sekali, ini benar-benar langka dan sudah jarang di temukan saat ini. Andai saat ini ada Pendeta di GBKP yang punya 4 gelar Doktor apa mungkin ya dia mau melayani Kotbah ke Amburidi, atau di daerah seperti ke pedalaman Jambi dan Kalimantan?? Mimpi kali yee. Atau misalnya “Pendeta-Pendeta” yang sudah lama di Kota Besar seperti Jakarta, mereka di tempatkan kembali ke “Kampung-kampung” alias daerah yang terpencil selama 5 bulan saja. (pasti bergumul ya? Mungkin ada yang mengatakan alasan ini dan itulahhh he, he) Ayo Pendeta-Pendeta kita perlu banyak belajar dari Albert dan Pdt David Living Stone yang mau di utus ke Pedalaman Afrika untuk melayani “Sang Lasarus”.
Pembaca Mj Maranatha yang terkasih, gejala atau fenomena apakah yang terjadi saat ini sehingga panggilan Gereja banyak yang telah kabur atau bergeser kearah “Materialisme dan Hedonis”. Kita lebih suka berpesta-pesta atau bermewah-mewah seperti Orang Kaya di dalam Injil Lukas tersebut. Hari-harinya selalu dipenuhi Pesta pora saja. Gereja-gereja juga saat ini sudah mulai seperti itu kan? (Sidang-sidang Klasis di Hotel Mewah, Natal yang memakan dana ratusan Juta Rupiah) Hampir mirip walaupun tidak sama persis. Sekarang sudah mulai mengarah kesana. Pendeta atau Pimpinan Gereja banyak yang nginap di Hotel bintang 4 atau bintang 5 bila ada acara “Gerejawi”. Padahal ada banyak Lasarus yang mati kelaparan di luar sana! (Anda dan penulis mendengar dan membaca beritanya, ada banyak anak Bangsa mati kelaparan di Makasar, NTT dan Jatim). Banyak yang kena busung lapar, Gizi buruk, miskin dan papa, Kok kita tak Peduli?? Ada apa ini?? Mengapa tidak tidur di rumah Jemaat saja, atau “ke Hotel yang sederhana” misalnya kelas bintang 1 atau bintang 1,5 misalnya (maksudnya carilah hotel yang sederhana) jangan sampai sekali nginap biayanya 500 ribu atau 1 juta semalam!! Ini sangat tidak manusiawi. Lebih baik uang Hotel itu di sumbangkan Panitia ke korban Lumpur Lapindo atau Bencana Alam Misalnya!!
Mengapa hal ini penulis sampaikan? Karena sudah banyak jemaat yang mengeluh dan menyampaikan itu semua kepada Penulis, mereka berkata begini, Pendeta atau Pimpinan Gereja itu enak-enak tidur di Hotel sana, kami makan pun susah katanya. Penulis pikir benar juga ya, masa Pendeta atau Pimpinan Gereja itu tidak bisa melihat situasi negara saat ini yang sedang sulit. Mungkin hal ini mereka sampaikan karena ada juga pembicara “Kaliber atau Konglomerat” yang mereka undang sebagai Pembicara hanya tidur di rumah Jemaat atau di rumah Pendeta setempat. Lalu muncullah pertanyaan mereka, mengapa kalau Pendeta atau Pimpinannya yang di undang kok Nginapnya malah di Hotel mewah? (mungkin hal inilah yang membuat banyak Pendeta yang mengejar kedudukan sebagai pimpinan Gereja, karena banyak fasilitas dan lain-lain!!).
Sebagai bahan perbandingan, Penulis pernah bertemu seorang “Mantan Presiden” salah satu organisasi “Gereja-gereja se Dunia” pada saat dia menjabat sebagai Presiden, mereka diundang oleh salah satu anggota Denominasi Gereja yang kebetulan berada di pedalaman Afrika, maka mereka nginap ya bersama Jemaat dan di rumah Pendeta Gereja yang di kunjungi itu. Padahal beliau adalah salah satu Pemimpin Gereja tingkat Dunia? Mengapa itu semua bisa dilakukan oleh Mantan Presiden Gereja tadi? Itulah bila “Hati yang berbicara bukan Otak” dan yang tidak kalah penting adalah ketika dia memaknai Panggilannya sebagai Pendeta yang harus melayani bukan dilayani!. Perlu kita sadari bahwa pesta pora dan sebagainya sudah harus di hentikan, apalagi kita ini adalah Gereja, mengapa harus melakukan yang tidak baik padahal ada banyak hal yang harus kita benahi seperti misalnya banyak Gedung Gereja kita yang sudah rusak dan perlu di perbaiki. Sangat bagus sekali apabila dana-dana yang ada untuk membangun Gereja atau apapun itu asal guna untuk pelayanan. Sebagai contoh, Coba perhatikan Gedung-gedung Gereja GBKP di sepanjang jalan Jenderal Jamin Ginting Pancur Batu-Berastagi?
Coba lihat bangunan pisik atau cat Gereja GBKP di sepanjang jalan tersebut. Kondisi gedungnya ada yang sudah rusak, ada catnya yang sudah kabur atau kusam, kelihatannya bukan seperti Gereja, sudah tidak terawat, maaf ini Kritik atau masukan buat kita semua. Kalau bisa, mari kita bangun secara bersama-sama, mengapa tidak? Katakanlah ada 10-20 gedung Gereja GBKP di sepanjang jalan tersebut yang perlu di rehab, mari kita bangun secara menyeluruh (Sinodal). Moderamen, Petinggi Karo atau Tokoh Gereja GBKP dimanapun berada bisa duduk bersama membicarakannya. Sebut saja misalnya Moderamen GBKP mengangkat “Panitia Rehab Gedung Gereja GBKP di Sepanjang jalan Pancur Batu-Berastagi berbiaya 1 Miliar? Cara mendapatkan Dananya? Tidak ada yang susah, cukup Moderamen dan Klasis bersangkutan mendatangi (menjemput bola) kerumah 25-30 kepala Keluarga donatur yang berdomisili di Medan, Pekan Baru dan Jakarta. Pastilah uang yang berjumlah 1 Miliar itu bisa didapat. Penulis tahu betul bahwa masih sangat banyak sebenarnya umat GBKP yang Peduli, hanya terkadang Pimpinan Gereja kurang mampu untuk mengelola ataupun melakukan Strategi menggalang dana tersebut. Dengan Dana yang 1 Miliar tadi di gunakan untuk biaya-biaya Rehab bangunan 10-20an Gedung Gereja GBKP di sepanjang jalan Jamin Ginting itu. Mengapa saya menyampaikan hal ini? Mungkin kita sudah sama-sama tahu bahwa saat ini banyak pembangunan dan pengrehaban secara besar-besaran “rumah ibadah lain” di seluruh Tanah Karo terutama di Kabanjahe dan Berastagi. Jadi untuk melakukan “Penyeimbang” dan memang disepanjang jalan Pancurbatu-Berastagi itulah Wajah GBKP yang sebenarnya. Gedung Gereja GBKP-GBKP Itulah yang setiap hari dilihat oleh “Jutaan” orang yang hilir mudik setiap hari Medan-Berastagi. Sekali lagi ini hanya himbauan saja kalau di dengarkan dan dilakukan ya baik kalau tidak juga ya tidak masalah yang penting hal ini sudah Penulis sampaikan. Sebagai sebuah Informasi bagi kita Umat GBKP dimanapun berada. Sebelum mereka mendahului, mengapa kita tidak bergerak untuk membangun secara bersama-sama dan dengan sekuat tenaga. Hal ini juga sama dengan membantu “Lasarus-Lasarus” yang ada di sepanjang Pancur Batu-Berastagi, yang mungkin saja kalau hanya jemaat setempat dan Klasis setempat yang melakukan mungkin mereka tidak sanggup. Butuh bantuan kita yang ada di luar Klasis atau Runggun tersebut. Selamat menjadi Donatur yang Peduli Lasarus-Lasarus saat ini!! Jadikan Tahun Marturia ini sebagai wujud nyata yang benar-benar berarti bagi orang lain dan sesama terlebih bagi Gereja GBKP, jangan hanya Teori!!

Untuk menutup tulisan ini saya mau mengangkat Firman Tuhan Yesus dari Injil Yohanes 13 : 34-35 “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-muridKu, yaitu jikalau kamu saling mengasihi”.
Tuhan Yesus Memberkati AMEN

Penulis Pdt Masada Sinukaban. Univ Kristen Satya Wacana Salatiga Jawa Tengah
KESAKTIAN PEDULI GENERASI INDONESIA

Di posting Oleh :
Imanuel Gintings
(Mhsw Teologi UKSW/Gr KAKR GBKP Tg Priok)
PERMATA Salatiga